Senin, 14 Februari 2011

Ahmadiyah, Islam atau Bukan?

Saat saya bertanya kepada intelektual muda Nahdatul Ulama, Zuhaeri Misrawi, "Ahmadiyah itu Islam atau bukan?" Maka, Misrawi yang lebih populer dengan panggilan Gus Mis ini hanya mengungkap bahwa Ahmadiyah adalah salah satu sekte dalam Islam yang muncul di Qadian dengan tokohnya Mirza Ghulam Ahmad.

Dalam konstelasi Islam, Ahmadiyah memang unik. Di beberapa negara, seperti di Arab dan Pakistan, pengikut Ahmadiyah dimusuhi secara terang-terangan. Bahkan, di Pakistan, Ahmadiyah harus "keluar" dari Islam dan membentuk agama baru yang bernama Ahmadi. Dengan demikian, jika kalangan Ahmadiyah di Pakistan hendak menunaikan ibadah haji, mereka harus keluar dulu dari negara tersebut lantaran pemerintah setempat hanya memberi izin naik haji kepada yang beragama Islam sesuai yang tercantum di paspor.

Namun, lantaran "dimusuhi" itulah, Ahmadiyah justru kerap menjadi perbincangan dan nama kelompok ini pun salah satu mashab yang paling dikenal di dunia selain Suni di Irak dan Syiah di Iran. Kenapa umat Islam marah kepada Ahmadiyah? Menurut mereka yang anti-Ahmadiyah, faham Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran pokok Islam.

Kalangan mainstream berpegang pada tafsir bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah penutup para Nabi. Maka, siapa saja yang berkata ada Nabi sesudahnya, dia murtad (keluar) dari Islam karena berarti telah mendustakan ayat-ayat Al Quran dan sunnah shahih yang sangat jelas menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sebagai penutup para nabi.

Di antara inti persoalan ketegangan tersebut adalah QS : Al Ahzab Ayat 40 berbunyi: "Maa kaana muhamadun abaa ahadin min rijalikum walakin rasullalahi wa khotamannabiyyin". Kalangan Islam mainstream menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki dari kamu, tetapi dia adalah Rasullullah dan penutup Nabi-nabi. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

Sementara Ahmadiyah menerjemahkannya, "Muhamad bukanlah bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan "Khatamanabiyyin". "Khatamanabiyyin" oleh pengikut Ahmadiyah diterjemahkan sebagai Nabi paling mulia dan nabi penutup yang membawa syariat.

Friksi berikutnya adalah tentang Nabi Isa AS. Umat Islam meyakini Isa tidak wafat, melainkan diangkat oleh Allah untuk kemudian diturunkan kembali pada akhir zaman untuk memerangi musuh-musuh Islam. Qs: 4:157: dan karena ucapan mereka, "Sesungguhnya Kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi(yang mereka bunuh ialah) orang serupa dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang orang yang berselisih faham tentang (pembunuhan) Isa, benar benar dalam keraguan tentang yang di bunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang di bunuh itu, kecuali mengikuti perasangka belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.

Sementara itu Ahmadiyah meyakini, Isa atau Imam Mahdi yang dipersonifikasikan sebagai Mirza Ghulam Ahmad telah meninggal dan dikuburkan.

Tentu saja persoalan yang muncul tak sesederhana itu. Bahkan, dialog-dialog yang telah dilakukan di antara dua kelompok yang "bersengketa" itu pun hingga kini tak pernah menemukan jalan keluar yang melegakan semua pihak.

Secara demografis, pergerakan Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke beberapa negara. Ahmadiyah mengaku memiliki cabang di 174 negara yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Dalam situs Ahmadiyah tertulis, saat ini jumlah anggota mereka di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang.

Jemaat ini membangun proyek-proyek sosial, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur-literatur Islam, dan pembangunan masjid-masjid.

Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih, dan saling pengertian di antara para pengikut agama yang berbeda. Menurut Ahmadiyah, gerakan ini sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al Quran: "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun untuk alasan apa pun.

Pergerakan ini menawarkan nilai-nilai Islami, falsafah, moral dan spiritual yang diperoleh dari Al Quran dan sunnah Nabi Suci Islam, Muhammad SAW. Beberapa orang Ahmadi, seperti almarhum Sir Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri pertama dari Pakistan; Presiden Majelis Umum UNO yang ke-17; Presiden dan Hakim di Mahkamah Internasional di Hague) dan Dr Abdus Salam (peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1979) telah dikenal karena prestasi dan jasa-jasanya oleh masyarakat dunia.

Ahmadiyah Qadian dan Lahore

Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama memercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:

1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), merupakan kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaru) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.

2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta), adalah kelompok yang secara umum tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekadar mujaddid dari ajaran Islam.

Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:

1. Percaya pada semua akidah dan hukum yang tercantum dalam Al Quran dan hadis, serta percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama'ah dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. 2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. 3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwwat kepada siapa pun. 4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40) dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat. 5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar. 6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, tetapi tidak akan datang nabi. 7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan, menurut hadis, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid. 8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman. Maka, orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir. 9. Seorang Muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat tidak bisa disebut kafir. 10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.

Ahmadiyah di mata ulama Islam

Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900 M, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah Majalah Al-Adyan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Sementara Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1835-1908 M. Dia dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah Punjab, India, tahun 1835 M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa menaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum Muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya, dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit, dan pencandu narkotik.

Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada Pemerintah Inggris.

Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadis di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.

Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama) agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908 M.

Pada awalnya, Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad SAW.

Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin, serta artikel hasil karyanya.

Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barahin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I’jazul Masih, At-Tabligh, dan Tajliat Ilahiah.

Menurut para penentang Ahmadiyah, permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nasrani sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani, dan Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya saat bekerja di kantor.

Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, pertama kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878 M.

Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.

Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang ia alami. Dengan demikian, orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud [Majmu’ah I’lanat Ghulam Al-Qadiyani, 1/25].

Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880 M, dengan judul Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya, cerita tentang alam gaib yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.

Dicomot dari tulisan yang sama dari Harian KOMPAS
http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819/Ahmadiyah.Islam.atau.Bukan

Selasa, 25 Januari 2011

Sejarah Istilah Sunda

Penggunaan istilah Sunda saat ini sulit dibedakan dengan istilah Jawa Barat, sering dicampur adukan, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuisme, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam perkumbuhan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.


Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.




Dataran- Kepulauan Sunda


Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.


Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain (Ekadjati – 1995).


Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.


Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.


Didalam pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma.


Didalam Prasasti dan Naskah Kuna


Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.


Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;


ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku kedua, hal 24).


Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi.


Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru (2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan (cool Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).


Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :


“Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].


Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :


... Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.


Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.


Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.


Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk


Kerajaan Sunda


Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.


Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.


Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.


Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.


Instilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)




Sumber Bacaan :

Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.

Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Eden In The East (Surga di Timur), Stephen Oppenheimer, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010

Atlantis The Lost Continent Finally Found, Aryo Santos, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010

http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/pengantar.html

dicopy-paste-keun ti:
http://www.kalangsunda.net/apps/forums/topics/show/4115336-sejarah-istilah-sunda?page=last