Saat saya bertanya kepada intelektual muda Nahdatul Ulama, Zuhaeri Misrawi, "Ahmadiyah itu Islam atau bukan?" Maka, Misrawi yang lebih populer dengan panggilan Gus Mis ini hanya mengungkap bahwa Ahmadiyah adalah salah satu sekte dalam Islam yang muncul di Qadian dengan tokohnya Mirza Ghulam Ahmad.
Dalam konstelasi Islam, Ahmadiyah memang unik. Di beberapa negara, seperti di Arab dan Pakistan, pengikut Ahmadiyah dimusuhi secara terang-terangan. Bahkan, di Pakistan, Ahmadiyah harus "keluar" dari Islam dan membentuk agama baru yang bernama Ahmadi. Dengan demikian, jika kalangan Ahmadiyah di Pakistan hendak menunaikan ibadah haji, mereka harus keluar dulu dari negara tersebut lantaran pemerintah setempat hanya memberi izin naik haji kepada yang beragama Islam sesuai yang tercantum di paspor.
Namun, lantaran "dimusuhi" itulah, Ahmadiyah justru kerap menjadi perbincangan dan nama kelompok ini pun salah satu mashab yang paling dikenal di dunia selain Suni di Irak dan Syiah di Iran. Kenapa umat Islam marah kepada Ahmadiyah? Menurut mereka yang anti-Ahmadiyah, faham Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Kalangan mainstream berpegang pada tafsir bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah penutup para Nabi. Maka, siapa saja yang berkata ada Nabi sesudahnya, dia murtad (keluar) dari Islam karena berarti telah mendustakan ayat-ayat Al Quran dan sunnah shahih yang sangat jelas menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sebagai penutup para nabi.
Di antara inti persoalan ketegangan tersebut adalah QS : Al Ahzab Ayat 40 berbunyi: "Maa kaana muhamadun abaa ahadin min rijalikum walakin rasullalahi wa khotamannabiyyin". Kalangan Islam mainstream menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki dari kamu, tetapi dia adalah Rasullullah dan penutup Nabi-nabi. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Sementara Ahmadiyah menerjemahkannya, "Muhamad bukanlah bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan "Khatamanabiyyin". "Khatamanabiyyin" oleh pengikut Ahmadiyah diterjemahkan sebagai Nabi paling mulia dan nabi penutup yang membawa syariat.
Friksi berikutnya adalah tentang Nabi Isa AS. Umat Islam meyakini Isa tidak wafat, melainkan diangkat oleh Allah untuk kemudian diturunkan kembali pada akhir zaman untuk memerangi musuh-musuh Islam. Qs: 4:157: dan karena ucapan mereka, "Sesungguhnya Kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi(yang mereka bunuh ialah) orang serupa dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang orang yang berselisih faham tentang (pembunuhan) Isa, benar benar dalam keraguan tentang yang di bunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang di bunuh itu, kecuali mengikuti perasangka belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Sementara itu Ahmadiyah meyakini, Isa atau Imam Mahdi yang dipersonifikasikan sebagai Mirza Ghulam Ahmad telah meninggal dan dikuburkan.
Tentu saja persoalan yang muncul tak sesederhana itu. Bahkan, dialog-dialog yang telah dilakukan di antara dua kelompok yang "bersengketa" itu pun hingga kini tak pernah menemukan jalan keluar yang melegakan semua pihak.
Secara demografis, pergerakan Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke beberapa negara. Ahmadiyah mengaku memiliki cabang di 174 negara yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Dalam situs Ahmadiyah tertulis, saat ini jumlah anggota mereka di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang.
Jemaat ini membangun proyek-proyek sosial, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur-literatur Islam, dan pembangunan masjid-masjid.
Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih, dan saling pengertian di antara para pengikut agama yang berbeda. Menurut Ahmadiyah, gerakan ini sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al Quran: "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun untuk alasan apa pun.
Pergerakan ini menawarkan nilai-nilai Islami, falsafah, moral dan spiritual yang diperoleh dari Al Quran dan sunnah Nabi Suci Islam, Muhammad SAW. Beberapa orang Ahmadi, seperti almarhum Sir Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri pertama dari Pakistan; Presiden Majelis Umum UNO yang ke-17; Presiden dan Hakim di Mahkamah Internasional di Hague) dan Dr Abdus Salam (peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1979) telah dikenal karena prestasi dan jasa-jasanya oleh masyarakat dunia.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama memercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), merupakan kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaru) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta), adalah kelompok yang secara umum tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekadar mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
1. Percaya pada semua akidah dan hukum yang tercantum dalam Al Quran dan hadis, serta percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama'ah dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. 2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. 3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwwat kepada siapa pun. 4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40) dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat. 5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar. 6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, tetapi tidak akan datang nabi. 7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan, menurut hadis, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid. 8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman. Maka, orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir. 9. Seorang Muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat tidak bisa disebut kafir. 10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.
Ahmadiyah di mata ulama Islam
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900 M, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah Majalah Al-Adyan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Sementara Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1835-1908 M. Dia dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah Punjab, India, tahun 1835 M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa menaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum Muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya, dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit, dan pencandu narkotik.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada Pemerintah Inggris.
Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadis di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama) agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908 M.
Pada awalnya, Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad SAW.
Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin, serta artikel hasil karyanya.
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barahin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I’jazul Masih, At-Tabligh, dan Tajliat Ilahiah.
Menurut para penentang Ahmadiyah, permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nasrani sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani, dan Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya saat bekerja di kantor.
Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, pertama kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878 M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.
Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang ia alami. Dengan demikian, orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud [Majmu’ah I’lanat Ghulam Al-Qadiyani, 1/25].
Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880 M, dengan judul Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya, cerita tentang alam gaib yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.
Dicomot dari tulisan yang sama dari Harian KOMPAS
http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819/Ahmadiyah.Islam.atau.Bukan
Kang Oda Surawijaya
Mari kita nge-blog dan bertukar informasi
Senin, 14 Februari 2011
Selasa, 25 Januari 2011
Sejarah Istilah Sunda
Penggunaan istilah Sunda saat ini sulit dibedakan dengan istilah Jawa Barat, sering dicampur adukan, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuisme, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam perkumbuhan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.
Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.
Dataran- Kepulauan Sunda
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.
Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain (Ekadjati – 1995).
Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.
Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.
Didalam pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma.
Didalam Prasasti dan Naskah Kuna
Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.
Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;
ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku kedua, hal 24).
Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi.
Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru (2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan (cool Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).
Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :
“Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].
Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
... Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.
Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.
Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.
Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk
Kerajaan Sunda
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.
Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.
Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.
Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.
Instilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Eden In The East (Surga di Timur), Stephen Oppenheimer, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010
Atlantis The Lost Continent Finally Found, Aryo Santos, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010
http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/pengantar.html
dicopy-paste-keun ti:
http://www.kalangsunda.net/apps/forums/topics/show/4115336-sejarah-istilah-sunda?page=last
Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.
Dataran- Kepulauan Sunda
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.
Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain (Ekadjati – 1995).
Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.
Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.
Didalam pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma.
Didalam Prasasti dan Naskah Kuna
Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.
Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;
ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku kedua, hal 24).
Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi.
Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru (2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan (cool Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).
Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :
“Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].
Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
... Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.
Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.
Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.
Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk
Kerajaan Sunda
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.
Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.
Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.
Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.
Instilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Eden In The East (Surga di Timur), Stephen Oppenheimer, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010
Atlantis The Lost Continent Finally Found, Aryo Santos, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010
http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/pengantar.html
dicopy-paste-keun ti:
http://www.kalangsunda.net/apps/forums/topics/show/4115336-sejarah-istilah-sunda?page=last
Rabu, 22 Desember 2010
Wisuda
tawa canda selalu mewarnai, ada yang murung karena gebetan di kelas keburu disamber orang, ada yang seneng karena berhasil jadian ma temen sekelas, dan berbagai cerita telah terpatri dalam sanubari geng k3233 hmmm.... WISUDA! adalah kata yang seolah berarti selamat tinggal atau perpisahan, padahal .... hmmm.... apa ya.... any way ada beberapa cukilan dari status fb temen-temen saat wisuda....
well selamat dan sukses buat semua temen-temen
salam erat
kang oda
cukilan dari status beberapa temen
Wijdani Rifqie Zulfahmi:
Makasih banyak yh neng'ieycHa' AriaNisa,, yang ga pernah lelah dan sllu ada disaat dibutuhkan.. makasih bnyk yh syg.!! bakal kangen ma Tante MLa Agst,,, keplinya Lutfi 'Da CunHa' ,, guyonan Asteve Husni Jr ,,,senyumnya mamih RoSy Haryadi ,,crtanya Kang Oda Surawijaya ,,gordesnya Nuy Suranuy ,,, dan semua temen2 yang ga bsa disebutin satu2.. makasih banyk yh..
Asteve Husni Jr:
waktu terasa terus berlalu tiba saatnya kita tukberpisah,jangan lupakan masa masa kita tertawa bersama pokoknamah sadih lah gud luck for all my friends
Wahyu Penyu
Hari yang bersejarah, setelah berjuang selama 3 tahun.
Nta M Rifa'i
yang terbaik ku persembahkan teruntuk ibu,bapa,kluarga,calon suamiku,dan semua sahabat2 ku...thank n i luv u all...^_^
Yuli Artamevia
susah untuk diungkapakan jika hari ini Q bahagia
Ncie Sri EnHa
AlhamduliLLah..
Yunny Juney
Alhamdulillah hr ini lncr smuany. Trima ksh y Allah...
Meylan Yan
Persiapan Menuju Puncak...., setelah sekian lama, kini harus berakhir sudah, thank's for all my friends.....................^-^....:)
Khalida Nisa
alhamdulillah berez wisudany,,mandi dlu ah,istirahat,trz siap2 inagurasi,,ajak sepupu2 ak naik mobil my luphly haha,,come on.
Rose Padahal Eros
aq sudah lulus...yeah...!
Aldi Restuadi
Ga percuma perjuangan selama ini, ketika org lain dihari minggu banyak yg bersantai2 dirmh sy tetep kuliah, ketika org lain lg libur semester sy tetep kuliah, ketika org lain sedang malam mingguan ma pasangannya sy tetep kuliah tapi akhirnya tgl 22-12-10 gelar sarjana bisa jg dicapai. Alhamdulillah, Terima kasih kepada semua org yg selalu mensupport & membantu sy.
BRAVO AKE K3233
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1356400662853&set=o.59183514955#!/group.php?gid=59183514955
well selamat dan sukses buat semua temen-temen
salam erat
kang oda
cukilan dari status beberapa temen
Wijdani Rifqie Zulfahmi:
Makasih banyak yh neng'ieycHa' AriaNisa,, yang ga pernah lelah dan sllu ada disaat dibutuhkan.. makasih bnyk yh syg.!! bakal kangen ma Tante MLa Agst,,, keplinya Lutfi 'Da CunHa' ,, guyonan Asteve Husni Jr ,,,senyumnya mamih RoSy Haryadi ,,crtanya Kang Oda Surawijaya ,,gordesnya Nuy Suranuy ,,, dan semua temen2 yang ga bsa disebutin satu2.. makasih banyk yh..
Asteve Husni Jr:
waktu terasa terus berlalu tiba saatnya kita tukberpisah,jangan lupakan masa masa kita tertawa bersama pokoknamah sadih lah gud luck for all my friends
Wahyu Penyu
Hari yang bersejarah, setelah berjuang selama 3 tahun.
Nta M Rifa'i
yang terbaik ku persembahkan teruntuk ibu,bapa,kluarga,calon suamiku,dan semua sahabat2 ku...thank n i luv u all...^_^
Yuli Artamevia
susah untuk diungkapakan jika hari ini Q bahagia
Ncie Sri EnHa
AlhamduliLLah..
Yunny Juney
Alhamdulillah hr ini lncr smuany. Trima ksh y Allah...
Meylan Yan
Persiapan Menuju Puncak...., setelah sekian lama, kini harus berakhir sudah, thank's for all my friends.....................^-^....:)
Khalida Nisa
alhamdulillah berez wisudany,,mandi dlu ah,istirahat,trz siap2 inagurasi,,ajak sepupu2 ak naik mobil my luphly haha,,come on.
Rose Padahal Eros
aq sudah lulus...yeah...!
Aldi Restuadi
Ga percuma perjuangan selama ini, ketika org lain dihari minggu banyak yg bersantai2 dirmh sy tetep kuliah, ketika org lain lg libur semester sy tetep kuliah, ketika org lain sedang malam mingguan ma pasangannya sy tetep kuliah tapi akhirnya tgl 22-12-10 gelar sarjana bisa jg dicapai. Alhamdulillah, Terima kasih kepada semua org yg selalu mensupport & membantu sy.
BRAVO AKE K3233
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1356400662853&set=o.59183514955#!/group.php?gid=59183514955
Kamis, 28 Oktober 2010
Kakawihan Barudak Sunda
Aya nu apal keneh teu nya, kana kakawihan barudak baheula? sigana mah moal da ari kakawihan nu kalarieu mah geus teu di parake deui ku barudak ayeuna mah, asa mangleubarkeun weh kami mah dan ari kabudayaan sunda teh geuningan sakitu aheng na, cag urang emut-emut deui kakawihanana, bral urang di alajar deui barudak...
Ambil-ambilan
+ Ambil ambilan turugtug hayam samantu
- Saha nu diambil kami mah teu boga incu
- boga gé anak pahatu
+ Pahatu-pahatu gé daék
+ purah nutu purah ngéjo
+ purah ngasakan baligo
- Nyerieun sukuna kacugak ku kaliagé
+ Aya ubarna kulit munding campur dagé
+ tiguling nyocolan dagé
Jaleuleuja
Jaleuleuja
Atulak tu ja éman
gog
Seureuh leuweung
bay
Jambé kolot
bug
Ucing katinggang songsong
ngék
Dongdang mayang
Pamikul adeg-adeg Bujang lanjang ti kidul sing araced
Truk truk brung
Truk truk brung Truk tru brak Buntut lutung panjang rubak Dikenyang-kenyang barudak Barudak
salawé widak Nyèd eng – nyed eng Nyed nyed eng Nyed- nyed eng
IV.
Ningningnang-ningnang Dot em dot blem Dalem sumping dor bajidor Tutunjuk kembang malati
Laole ole obong …………………………………………. (hilap deui)
Adu riri silih pinyong ( ?) Inyong-inyong mas muria Adu gandék raja belang
V.
Néngnang néng prak Térélék embé janggotan Pa kuwu kariaan Laukna lauk bilatung Kéjona kéjo
gandrung Trangtrung bedog buntung Trungtrang bedog rompang Hét hét embé janggotan Kélék
monyét héhéotan Badubanglpak dug blem
VI.
Pacublek-cublek uang Uangnya manggulenténg Butata – butiti Padati wara – wiri Tangsi nona
Tangsi tuan Ka teluk bungbung Pok érah Pok érah Si Sidin mau kawin Potong kerbau péndék
Potong kerbau tinggi Tingginya jemblang – jemblung Ta eem Ta eem Ta em – ta em – ta em
VII.
Sakentrung – sakentrung Paré hawara di huma Ditutuna lisung kai (pondok ?) Trung dung trung
dung éng Trung dung trung dung éng
VIII.
Sakentrung taligung Pécik pécang Tété tulak Tété wondo Dalem surak raja sono Kalisanga
domblé Kacang diraraweuy Tembus kénéh Dodol sana Dodol sini Cir kuciplek Doli doéng
IX.
+ Endeuk-eundeukan lagoni - Meunang peucang sahiji + Leupas deui ku nini - Beunang deui ku
aki + Leupas deui ku ninina nini nini - Beunang deui ku akina aki-aki + Leupas deui ku
ninina ninina ninina nini nini - Beunang deui ku akina akina akina akina aki-aki + Leupas
deui ku ninina ninina ninina ninina ninina ninina nini nini………… - Beunang deui ku akina
akina akina akina akina akina akina akina aki-aki ……..
X.
Pérépét jéngkol jajahéan Kadempét kohkol Jéjérétéan
XI.
Ehon bérod Ehon bérod Ehon bérod Roda sapi buntung Tunggir hayam bikang Kangkung sisi gawir
Wira dagang oncom Comél ka nu gélo Lodong kosong ngentrung Trung trung trung kohkol alarm
XII
Santri maan dodol Doléwak nincak waduk Duka waduk saha Haneut kénéh pisan (balik deui kana
santri maan dodol ………… Kitu jeung kitu waé bulak balik)
XIII
Bubulaoan Si semar maling gunting Guntingna kabulaoan Ta eem te eem Sidakep bari balem
XIV
Ojok – ojok uang aung
Ngarorojok nu disaung
Ojok-ojok undar andur
Ngarojok nu keur tandur
Ojok-ojok umbet-ambét
Ngarojok nu ngarambét
Ojok-ojok uat-aut
Ngarojok nu dibuat
Ojok – ojok ata utu
Ngarorojok nu keur nutu
Ojok-ojok unggang anggéng
Ngarojok nu keur nonggéng
Ojok-ojok ucad aced
Ngorojok nu aced-acedan
XV
Oray-orayan
Oray naon
Oray bungka
Bungka naon
Bungkalaut
Laut naon
Laut dipa
Dipa naon
Dipandeuri ………..
XVI.
+ Oray-orayan luar léor mapay sawah
- Entong ka sawah paréna keur sedeng beukah
+ Mending ka leuwi di leuwi loba nu mandi
- Saha anu mandi – anu mandina pandeuri
XVII.
Bubur beureum
Sabrang wétan
Kurawed angked
Blep
XVIII.
Si roji meuli paku
Ku babah teu dibéré
Pokna mata sia
Dai nippon nu kawasa
XIX.
Cingcangkeling manuk cingkleung // Cindeten // Blos ka kolong bapa satar buleneng
Ayang-ayang Gung
Ayang-ayang gung
Gung goongna ramé
Ménak Ki Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha manéh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung Kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagoréngan
Ngantos Kangjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong
XXI.
Disurung ungkug-ungkugan
Diséréd jéjérétéan
Bulu irung digelungan
Bulu kélék dilélépét
Bang kalima lima gobang
Bang kalima lima gobang (bang)
Bangkong di tengah sawah (wah)
Wahéy tukang bajigur (gur)
Guru sakola désa (sa)
Saban poé ngajar (jar)
Jarum paranti ngaput (put)
Putri nu gareulis (lis)
Lisung kadua halu (lu)
Luhur kapal udara (ra)
Ragrag di Jakarta (ta)
Taun tujuh hiji (ji)
Haji rék ka Mekkah (kah)
Kahar tujuh rébu (bu)
Buah meunang ngala (la)
Lauk meunang nyobék (bék)
Béker meunang muter (ter)
Terus ka Cikampék (pék)
Pékna dagang kalam (lam)
Lampu eujeung damar (mar)
Mari kuéh hoho (ho)
Hotél panglédangan (ngan)
Ngantos Kangjeng Dalem (lem)
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
XXIII
Kalongking // Kalongking // Bapa sia // Utah ngising // Cecewok dina pependil
XXIV
Sasalimpetan
Jajahan aing nu panjang
Sursér-sursér
Sursér sursér
Amis cau
Amis kembang
Hileud sita
Tarungambang
Yéy iyéy
Tai manukan
Yéy iyéy
Tai manukan
XXVI
Prang pring, prang pring
salumprang salampring
Sabulu bulu gading
si gading ka Sunda perang
pur kuntul engkang-engkang
munding ngabongkar kandang
salewek sadugel cindel
heug, heug caringin runtuh
heug, heug caringin runtuh
dorokdok gubrag
+pung puyuh/
angèl angèl pèrah jambè/
torolong hayam kakolong
suku si jaèni
nilep sabeulah.............(upami teu lepat mah kitu)
Cang ucang anggé
Cang ucang anggé
Mulung muncang ka paranjé
Digogog ku anjing gedé
Anjing gedé nu Pa Lebé
Ari gog gog cungunguuuung
Héhéotan
Héh héh héhéotan
Bulu kélék jambréosan
Nini-nini dagang ketan
Teu payu dicarékan
dicomot ti sababaraha sumber di internet jeung nu pasti na teu menta ijin heula, bilih bade ngiring nyomot oge sok lah mangga haratis
Ambil-ambilan
+ Ambil ambilan turugtug hayam samantu
- Saha nu diambil kami mah teu boga incu
- boga gé anak pahatu
+ Pahatu-pahatu gé daék
+ purah nutu purah ngéjo
+ purah ngasakan baligo
- Nyerieun sukuna kacugak ku kaliagé
+ Aya ubarna kulit munding campur dagé
+ tiguling nyocolan dagé
Jaleuleuja
Jaleuleuja
Atulak tu ja éman
gog
Seureuh leuweung
bay
Jambé kolot
bug
Ucing katinggang songsong
ngék
Dongdang mayang
Pamikul adeg-adeg Bujang lanjang ti kidul sing araced
Truk truk brung
Truk truk brung Truk tru brak Buntut lutung panjang rubak Dikenyang-kenyang barudak Barudak
salawé widak Nyèd eng – nyed eng Nyed nyed eng Nyed- nyed eng
IV.
Ningningnang-ningnang Dot em dot blem Dalem sumping dor bajidor Tutunjuk kembang malati
Laole ole obong …………………………………………. (hilap deui)
Adu riri silih pinyong ( ?) Inyong-inyong mas muria Adu gandék raja belang
V.
Néngnang néng prak Térélék embé janggotan Pa kuwu kariaan Laukna lauk bilatung Kéjona kéjo
gandrung Trangtrung bedog buntung Trungtrang bedog rompang Hét hét embé janggotan Kélék
monyét héhéotan Badubanglpak dug blem
VI.
Pacublek-cublek uang Uangnya manggulenténg Butata – butiti Padati wara – wiri Tangsi nona
Tangsi tuan Ka teluk bungbung Pok érah Pok érah Si Sidin mau kawin Potong kerbau péndék
Potong kerbau tinggi Tingginya jemblang – jemblung Ta eem Ta eem Ta em – ta em – ta em
VII.
Sakentrung – sakentrung Paré hawara di huma Ditutuna lisung kai (pondok ?) Trung dung trung
dung éng Trung dung trung dung éng
VIII.
Sakentrung taligung Pécik pécang Tété tulak Tété wondo Dalem surak raja sono Kalisanga
domblé Kacang diraraweuy Tembus kénéh Dodol sana Dodol sini Cir kuciplek Doli doéng
IX.
+ Endeuk-eundeukan lagoni - Meunang peucang sahiji + Leupas deui ku nini - Beunang deui ku
aki + Leupas deui ku ninina nini nini - Beunang deui ku akina aki-aki + Leupas deui ku
ninina ninina ninina nini nini - Beunang deui ku akina akina akina akina aki-aki + Leupas
deui ku ninina ninina ninina ninina ninina ninina nini nini………… - Beunang deui ku akina
akina akina akina akina akina akina akina aki-aki ……..
X.
Pérépét jéngkol jajahéan Kadempét kohkol Jéjérétéan
XI.
Ehon bérod Ehon bérod Ehon bérod Roda sapi buntung Tunggir hayam bikang Kangkung sisi gawir
Wira dagang oncom Comél ka nu gélo Lodong kosong ngentrung Trung trung trung kohkol alarm
XII
Santri maan dodol Doléwak nincak waduk Duka waduk saha Haneut kénéh pisan (balik deui kana
santri maan dodol ………… Kitu jeung kitu waé bulak balik)
XIII
Bubulaoan Si semar maling gunting Guntingna kabulaoan Ta eem te eem Sidakep bari balem
XIV
Ojok – ojok uang aung
Ngarorojok nu disaung
Ojok-ojok undar andur
Ngarojok nu keur tandur
Ojok-ojok umbet-ambét
Ngarojok nu ngarambét
Ojok-ojok uat-aut
Ngarojok nu dibuat
Ojok – ojok ata utu
Ngarorojok nu keur nutu
Ojok-ojok unggang anggéng
Ngarojok nu keur nonggéng
Ojok-ojok ucad aced
Ngorojok nu aced-acedan
XV
Oray-orayan
Oray naon
Oray bungka
Bungka naon
Bungkalaut
Laut naon
Laut dipa
Dipa naon
Dipandeuri ………..
XVI.
+ Oray-orayan luar léor mapay sawah
- Entong ka sawah paréna keur sedeng beukah
+ Mending ka leuwi di leuwi loba nu mandi
- Saha anu mandi – anu mandina pandeuri
XVII.
Bubur beureum
Sabrang wétan
Kurawed angked
Blep
XVIII.
Si roji meuli paku
Ku babah teu dibéré
Pokna mata sia
Dai nippon nu kawasa
XIX.
Cingcangkeling manuk cingkleung // Cindeten // Blos ka kolong bapa satar buleneng
Ayang-ayang Gung
Ayang-ayang gung
Gung goongna ramé
Ménak Ki Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha manéh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung Kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagoréngan
Ngantos Kangjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong
XXI.
Disurung ungkug-ungkugan
Diséréd jéjérétéan
Bulu irung digelungan
Bulu kélék dilélépét
Bang kalima lima gobang
Bang kalima lima gobang (bang)
Bangkong di tengah sawah (wah)
Wahéy tukang bajigur (gur)
Guru sakola désa (sa)
Saban poé ngajar (jar)
Jarum paranti ngaput (put)
Putri nu gareulis (lis)
Lisung kadua halu (lu)
Luhur kapal udara (ra)
Ragrag di Jakarta (ta)
Taun tujuh hiji (ji)
Haji rék ka Mekkah (kah)
Kahar tujuh rébu (bu)
Buah meunang ngala (la)
Lauk meunang nyobék (bék)
Béker meunang muter (ter)
Terus ka Cikampék (pék)
Pékna dagang kalam (lam)
Lampu eujeung damar (mar)
Mari kuéh hoho (ho)
Hotél panglédangan (ngan)
Ngantos Kangjeng Dalem (lem)
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
XXIII
Kalongking // Kalongking // Bapa sia // Utah ngising // Cecewok dina pependil
XXIV
Sasalimpetan
Jajahan aing nu panjang
Sursér-sursér
Sursér sursér
Amis cau
Amis kembang
Hileud sita
Tarungambang
Yéy iyéy
Tai manukan
Yéy iyéy
Tai manukan
XXVI
Prang pring, prang pring
salumprang salampring
Sabulu bulu gading
si gading ka Sunda perang
pur kuntul engkang-engkang
munding ngabongkar kandang
salewek sadugel cindel
heug, heug caringin runtuh
heug, heug caringin runtuh
dorokdok gubrag
+pung puyuh/
angèl angèl pèrah jambè/
torolong hayam kakolong
suku si jaèni
nilep sabeulah.............(upami teu lepat mah kitu)
Cang ucang anggé
Cang ucang anggé
Mulung muncang ka paranjé
Digogog ku anjing gedé
Anjing gedé nu Pa Lebé
Ari gog gog cungunguuuung
Héhéotan
Héh héh héhéotan
Bulu kélék jambréosan
Nini-nini dagang ketan
Teu payu dicarékan
dicomot ti sababaraha sumber di internet jeung nu pasti na teu menta ijin heula, bilih bade ngiring nyomot oge sok lah mangga haratis
Selasa, 12 Oktober 2010
Wangsit Siliwangi
Uga Wangsit Siliwangi
From Wikisource
"untuk bahasa Indonesia (terjemahan bebas) ada di bagian bawah setelah tulisan berbahasa Sunda selesai"
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
UGA WANGSIT SILIWANGI
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
-----------------------terjemahan bebas---------------------------
Uga Wangsit Siliwangi
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!
From Wikisource
"untuk bahasa Indonesia (terjemahan bebas) ada di bagian bawah setelah tulisan berbahasa Sunda selesai"
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
UGA WANGSIT SILIWANGI
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
-----------------------terjemahan bebas---------------------------
Uga Wangsit Siliwangi
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!
Rabu, 06 Oktober 2010
Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi KS. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:
Kidung Sunda
Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.
Ringkasan
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Penulisan
Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.
Beberapa cuplikan teks
Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam bahasa Jawa dengan alihbahasa dalam bahasa Indonesia. Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan ejaan disesuaikan.
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
Alihbahasa:
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:
[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri.
Maka ini terdengar oleh Sri Raja dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!”
“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
Alihbahasa:
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
source: http://id.wikipedia.org/wiki/Kidung_Sunda
Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi KS. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:
Kidung Sunda
Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.
Ringkasan
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir kisahnya.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Penulisan
Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.
Beberapa cuplikan teks
Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam bahasa Jawa dengan alihbahasa dalam bahasa Indonesia. Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan ejaan disesuaikan.
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
Alihbahasa:
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:
[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri.
Maka ini terdengar oleh Sri Raja
“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
Alihbahasa:
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
source: http://id.wikipedia.org/wiki/Kidung_Sunda
Selasa, 05 Oktober 2010
Adat Ngariksa nu Kakandungan
Adat ngariksa nu kakandungan di Sunda teh raket pisan patalina jeung sistim kapercayaan urang Sunda, anu boga sipat – ceuk Muhtar Lubis dina Manusia Indonesia mah – percaya kana tahayul/bangsa lelembut. Maksud dina ayana adat ngaraksa nu reuneuh teh nya eta pikeun ngajaga nu reuneuh dina pangaruh jahat para lelembut atawa dedemit sarta pangaruh goreng tina kakuatan alam disabudeureunana nu miboga sipat gaib. Tarekah pikeun ngajaga eta dilakukeun ku rupa-rupa cara saperti:
ngayakeun salametan atawa sidekah mekelan nu reuneuh ku barang-barang anu diyakinan miboga kakuatan tolak bala atawa salaku jimat merhatikeun tur ngajaga supaya nu reuneuh teu ngalanggar pantrangan karuhun.
Pikeun nu mimiti pisan mah biasana kolotna nu sok merhatikeun teh, beda jeung nu geus dua atawa tilu kali biasana ku sorangan. Ieu hal dumasar pangalaman, biasana ari anu kakara pisan kakandungan mah sok loba kasieun, komo kolotna mah, hariwangeun pisan ningali budakna anu léléngkah halu kénéh dina hal ngariksa janin.
Ti mimiti reuneuh nepi ka kandungan umurna dua bulan biasa disebut ngandeg atawa nyiram. Sanggeus umur kandungan tilu bulan diayakeun salametan tilu bulanan. Pikeun rereana jalma salametan tilu bulanana cukup ku ngabubur beureum ngabubur bodas nu mangrupa inti atawa sarat nu kudu aya dina salametan numutkeun adat kabiasaan karuhun. Salian ti ngabubur beureum ngabubur bodas teh, pikeun jalma boga mah biasana sok dibarengan ku tumpeng.
Sarengsena salametan tilu bulanana diayakeun deui salametan dina mangsa umur kandungan 5, 7, 9 bulan. Pokona kudu ngayakeun tiap itungan ganjil. Dina salametan kadua kalina diayakeun hajat bangsal. Bangsal anu diwadahan ku bokor sarta di luhurna ditutupan ku daun waluh. Maksud dina kecap bangsal sacara metonomis mirip kecap bengsal (sial). Sedengkeun kecap waluh sacara metonomis ngaharib-harib kana kecap waluya. Jadi maksud utama ayana hajat bangsal teh nya eta ngaleungitkeun sagala kasialan sarta diganti ku kawaluyaan.
Salametan anu katilu kalina diayakeun dina waktu kandungan geus 7 bulan nu mangrupa salametan panggedena diantara 4 salametan. Salametan ieu pada nyarebut tingkeban atawa babarik (Ciamis), babarit (Majalengka). Saprak tingkeban urusan ngajaga nu reuneuh jadi tanggungjawab paraji. Tingkeban teh mangrupa salametan nu kakandungan nu pangceuyahna diantara upacara-upacara sejenna, ditilik tina lobana proses upacara jeung reana sarat anu kudu dicumponan. Waktu umur kandungan 9 bulan diayakeun salametan anu kaopat kalina. Ieu salametan teh disebut lolos jeung sidekah lampu. Lolos (dahareun nu dijieun tina tipung beas digulaan make santen tur dibungkus ku daun cau) nyaeta ngandung maksud supaya dina waktu ngalahirkeun, orok bisa kaluar kalayan lancar jeung salamet, sedengkeun lampu miboga maksud supaya orok nu dilahirkeun miboga hate nu caang. Lampu nu dipake biasana lampu cempor atawa lampu tempel.
Paraji mimiti mere pituduh ka kulawarga nu kakandungan pikeun tatahar nyiapkeun rupa-rupa ramuan nu mangrupa sisikian, akar-akaran, dadaunan, jeung beubeutian nu tangtu. Biasana umur kandungan salapan bulan teh sok disebut bulan alaeun. Beda deui mun umur kandungan teu normal (leuwih ti salapan bulan biasana sok pada nyebut reuneuh mundingeun).
Aya istilah husus pikeun nu kakandungan dina prosesna.
Reuneuh sabulan disebut ngaherang, hartina kandungan masih kaciri herang sarta wujudna disebut alkah.
Reuneuh dua bulan disebut lumenggang, hartina geus kentel sanajan transparan keneh (ngalangkang) sarta wujudna disebut kasapah.
Reuneuh tilu bulan disebut kumambang, hartina geus mengkel jeung buleud, wujudna pada nyebut nutpah.
Reuneuh opat bulan disebut gumulung hartina geus padet tur buleud wujudna disebut amarulah.
Reuneuh lima bulan disebut mangrupa nu hartina geus kaciri buleungkeukanna, wujudna disebut ahmad.
Reuneuh genep bulan disebut usik hartina janin geus karasa usik, wujudna disebut keneh ahmad.
Reuneuh tujuh bulan disebut malik hartina posisina geus bisa malik, wujudna disebut muhamad.
Reuneuh dalapan bulan disebut kumentar-kumentir hartina geus neangan jalan kaluar, wujudna masih disebut muhamad.
Reuneuh salapan bulan disebut ngaruang-ruang hartina geus aya di jalan kaluar, wujudna masih disebut muhamad.
Asup bulan kasapuluh orok dibabarkeun, miboga gelar Rosulluloh.
Teu kurang ti 31 pantarangan pikeun nu keur kakandungan diantarana; teu meunang sare teu make bantal sabab bisa nyusahkeun waktu ngalahirkeun; teu meunang diuk dina lawang panto sabab bisa-bisa hese ngalahirkeun (biasana disebut ngalong); teu meunang ngadahar kulub endog sabab jaga anakna bisa-bisa bisul di sirah; teu meunang ngadahar ganas sabab bisa-bisa anakna jaga boga panyakit koreng; teu meunang ngasaan angeun langsung dina sendok sabab bisa-bisa anakna goreng, jeung sajabana.
Lian ti ayana pantrangan pikeun nu kakandungan (pihak awewe), aya oge pantrangan pikeun salakina diantarana; teu meunang peupeuncitan; teu meunang nyiksa sasatoan; teu meunang nguseup; teu meunang ngadu hayam, teu meunang ngadu domba jrrd. Tur jalma lian ge teu meunang nying perasaan jalma reuneuh. Salaki pamajikan mun kapaksa kudu migawe nu dipantrang alusna kudu ngucapkeun kalimah samodel “ utun inji hayu urang motongan hayam, tapi kade ulah sapotong-potongna lamun lain potongeunana”.
(sumber http://su.wikipedia.org/wiki/Adat_Ngariksa_nu_Kakandungan)
ngayakeun salametan atawa sidekah mekelan nu reuneuh ku barang-barang anu diyakinan miboga kakuatan tolak bala atawa salaku jimat merhatikeun tur ngajaga supaya nu reuneuh teu ngalanggar pantrangan karuhun.
Pikeun nu mimiti pisan mah biasana kolotna nu sok merhatikeun teh, beda jeung nu geus dua atawa tilu kali biasana ku sorangan. Ieu hal dumasar pangalaman, biasana ari anu kakara pisan kakandungan mah sok loba kasieun, komo kolotna mah, hariwangeun pisan ningali budakna anu léléngkah halu kénéh dina hal ngariksa janin.
Ti mimiti reuneuh nepi ka kandungan umurna dua bulan biasa disebut ngandeg atawa nyiram. Sanggeus umur kandungan tilu bulan diayakeun salametan tilu bulanan. Pikeun rereana jalma salametan tilu bulanana cukup ku ngabubur beureum ngabubur bodas nu mangrupa inti atawa sarat nu kudu aya dina salametan numutkeun adat kabiasaan karuhun. Salian ti ngabubur beureum ngabubur bodas teh, pikeun jalma boga mah biasana sok dibarengan ku tumpeng.
Sarengsena salametan tilu bulanana diayakeun deui salametan dina mangsa umur kandungan 5, 7, 9 bulan. Pokona kudu ngayakeun tiap itungan ganjil. Dina salametan kadua kalina diayakeun hajat bangsal. Bangsal anu diwadahan ku bokor sarta di luhurna ditutupan ku daun waluh. Maksud dina kecap bangsal sacara metonomis mirip kecap bengsal (sial). Sedengkeun kecap waluh sacara metonomis ngaharib-harib kana kecap waluya. Jadi maksud utama ayana hajat bangsal teh nya eta ngaleungitkeun sagala kasialan sarta diganti ku kawaluyaan.
Salametan anu katilu kalina diayakeun dina waktu kandungan geus 7 bulan nu mangrupa salametan panggedena diantara 4 salametan. Salametan ieu pada nyarebut tingkeban atawa babarik (Ciamis), babarit (Majalengka). Saprak tingkeban urusan ngajaga nu reuneuh jadi tanggungjawab paraji. Tingkeban teh mangrupa salametan nu kakandungan nu pangceuyahna diantara upacara-upacara sejenna, ditilik tina lobana proses upacara jeung reana sarat anu kudu dicumponan. Waktu umur kandungan 9 bulan diayakeun salametan anu kaopat kalina. Ieu salametan teh disebut lolos jeung sidekah lampu. Lolos (dahareun nu dijieun tina tipung beas digulaan make santen tur dibungkus ku daun cau) nyaeta ngandung maksud supaya dina waktu ngalahirkeun, orok bisa kaluar kalayan lancar jeung salamet, sedengkeun lampu miboga maksud supaya orok nu dilahirkeun miboga hate nu caang. Lampu nu dipake biasana lampu cempor atawa lampu tempel.
Paraji mimiti mere pituduh ka kulawarga nu kakandungan pikeun tatahar nyiapkeun rupa-rupa ramuan nu mangrupa sisikian, akar-akaran, dadaunan, jeung beubeutian nu tangtu. Biasana umur kandungan salapan bulan teh sok disebut bulan alaeun. Beda deui mun umur kandungan teu normal (leuwih ti salapan bulan biasana sok pada nyebut reuneuh mundingeun).
Aya istilah husus pikeun nu kakandungan dina prosesna.
Reuneuh sabulan disebut ngaherang, hartina kandungan masih kaciri herang sarta wujudna disebut alkah.
Reuneuh dua bulan disebut lumenggang, hartina geus kentel sanajan transparan keneh (ngalangkang) sarta wujudna disebut kasapah.
Reuneuh tilu bulan disebut kumambang, hartina geus mengkel jeung buleud, wujudna pada nyebut nutpah.
Reuneuh opat bulan disebut gumulung hartina geus padet tur buleud wujudna disebut amarulah.
Reuneuh lima bulan disebut mangrupa nu hartina geus kaciri buleungkeukanna, wujudna disebut ahmad.
Reuneuh genep bulan disebut usik hartina janin geus karasa usik, wujudna disebut keneh ahmad.
Reuneuh tujuh bulan disebut malik hartina posisina geus bisa malik, wujudna disebut muhamad.
Reuneuh dalapan bulan disebut kumentar-kumentir hartina geus neangan jalan kaluar, wujudna masih disebut muhamad.
Reuneuh salapan bulan disebut ngaruang-ruang hartina geus aya di jalan kaluar, wujudna masih disebut muhamad.
Asup bulan kasapuluh orok dibabarkeun, miboga gelar Rosulluloh.
Teu kurang ti 31 pantarangan pikeun nu keur kakandungan diantarana; teu meunang sare teu make bantal sabab bisa nyusahkeun waktu ngalahirkeun; teu meunang diuk dina lawang panto sabab bisa-bisa hese ngalahirkeun (biasana disebut ngalong); teu meunang ngadahar kulub endog sabab jaga anakna bisa-bisa bisul di sirah; teu meunang ngadahar ganas sabab bisa-bisa anakna jaga boga panyakit koreng; teu meunang ngasaan angeun langsung dina sendok sabab bisa-bisa anakna goreng, jeung sajabana.
Lian ti ayana pantrangan pikeun nu kakandungan (pihak awewe), aya oge pantrangan pikeun salakina diantarana; teu meunang peupeuncitan; teu meunang nyiksa sasatoan; teu meunang nguseup; teu meunang ngadu hayam, teu meunang ngadu domba jrrd. Tur jalma lian ge teu meunang nying perasaan jalma reuneuh. Salaki pamajikan mun kapaksa kudu migawe nu dipantrang alusna kudu ngucapkeun kalimah samodel “ utun inji hayu urang motongan hayam, tapi kade ulah sapotong-potongna lamun lain potongeunana”.
(sumber http://su.wikipedia.org/wiki/Adat_Ngariksa_nu_Kakandungan)
Langganan:
Postingan (Atom)